Sebuah Fiksi Pendek.
“Baik Saja Tidak Menyelamatkan Nababan !”
Oleh : J. Pees
Kembali saya harus mengalami penyiksaan. Dengan awas-awas menunggu dan menoleh untuk memastikan ketika terpanggil, itu akan terlewat begitu saja.
“Zairi Nurim”
“Hilman Futir”
“Nurlela”
“Burhan Musya”
“Maesya Winardi”
“Aris Sugondo”
“Hiatun Mumat”
Antrian foto yang memastikan kelayakan saya menyandang kartu identitas dan tanggung jawab yang pribadi, sebagai mahasiwa tingkat 2 dijurusan umum untuk informatika. Hal yang memang tidak akan terhubung dengan penjelasan jikalau tertera dengan identitas saya. Gerutuan saya dalam menunggu lebih disadari sebagai siksaan. Selalu menerawang jikalau ini adalah pertanggungjawaban pribadi, hingga hanya memandangi langit-langit karena takdir yang mencoba untuk membuatnya menjadi biasa.
Dulu-dulunya, selalu ada orang tua. Bapak saya yang tentunya memangkelkan perasaan ini, dengan panggilan“Idak” menjadi nama lain yang tertera. Saya telah mengalami cukup banyak, semacam keheranan yang standar, persis keheranan saya yang menyaksikan betapa pada musim liburan sekolah ini tiadanya anak-anak yang main layangan. Betapa anak-anak yang harusnya main layangan ini juga mengapa harus berkerumun di kantor kecamatan. Ditambah lagi protes dari keluarga, semacam ketidaklaziman pemberian nama. Akan tetapi bapak saya seakan menumbuhkan perasaan kesal yang tidak terkira untuk sengaja. Dimana akan selalu saya tanggung dikemudian hari, sehingga jangankan keheranan ketika anak-anak berkumpul di kantor kecamatan karena seharusnya ada kegiatan yang lain ? Maka, saya memastikan jika main layangan pun bapak saya tidak bisa. Sehingga, untuk memikirkannya akan selalu terbayang dan teganya memberikan itu.