Desember
Pokok-pokok Dalam Literasi Dan Dogmatika...
Mencoba Pokok Pikiran Untuk Misi Selanjutnya.
Pertama. Bagaimana pokok perjalanan misi sekarang harus berhadap-hadapan, bahwa hubungan negasi dengan mana pemutlakan atau pembenaran klaim sendiri menjadi sangat terbuka. Maka tentu pesan Injil tersebut harus menyentuh “yang lain” dengan demikian juga akan “yang lain” itu juga menjadi terbuka. Sebuah dorongan dari saling keterbukaan, dimana adalah pokok “kebenaran” dalam keterbukaan tersebut. Seakan menyadari bahwa ada soal dalam ketidakterbukaan untuk terjadinya pemahaman—hal yang bisa dianggap sebagai menggampanggkan ketika yang didorong soal keterbukaan.
Kedua. Literasi dan kesan dogmatis ketika dianggap perkembangan yang menyentuh dunia islam, adalah menyentuh soal tudingan hal yang sangat sengit ketika berhadap-hadapan. Injil tetap menjadi pesan, ketika tampak saru dan tak terkesan ada keungggulan ketika dunia menderita menghadapi pandemi global yang sekarang berangsur agak membaik—akan tetapi selalu dihantui akan kewaspadaan. Kisah seorang dokter Islam yang berkorban karena ventilator yang terbatas di indonesia menjadi penanda dari sumbangsih pengorbanan yang tidak bisa dikecilkan akan sumbangsih keagamaaan atas kemanusiaan. Lantas filantropis yang berpangkal pada anugerah seakan terputus dan mempertanyakan sebagai kemunculan dan hal yang digerakan adalah terkait dengan kemanusiaan...
Ketiga. Pelayanan yang terbuka untuk penjangkauan kedunia islam. Maka dengan keterbukaan yang menjadikannya sebagai sebuah otokritik terhadap diri sendiri, kehadiran yang dikisahkah (story) sebagai bentuk yang terbaca (literatur) membangun banyak hal. Akan tetapi ciri dari yang terbaca itu, bersamaan juga ketika sebuah keyakinan dalam kehadiran sebagai teks mendapatkan pokok pengujian sebagai kebenaran, sebagai pegangan dari ide keyakinan tersebut. Juga mengilhami akan banyak kisah. Motif dengan landasan keyakinan agama untuk mau berkorban, beberapa kesan baik dan nilai-nilai dari prinsip, sekalipun bisa juga pengisahan dengan simbol-simbol yang melekat dengan identitas religius. Maka keterbukaan tersebut bisa sangat menjiwai yang menjadikannya juga sebagai jaminan kebebasan, dari sini memang kerap yang menjadikan banyak pertentangan, bahwa kebebasan tidak menjadikan kebebaran untuk menyerang keyakinan. Terlebih jika itu menyangkut ke landasan berkeyakinan di dunia islam, periode yang sekarang sangat ditandai dengan pengekangan ‘proteksi’ bagi kalagan dunia islam secara berlebih, setelah era kekristenan yang mendominasi dianggap telah berlalu.
Keempat. Misi dengan mengkreasikan literasi terkesan menjauh dengan kelaziman dari pokok-pokok ortodoksi. Sekalipun yang dimaksud sebagai sumber bacaan adalah menyoal pada kesaksian dan riwayat yang menginspirasi, sebagaimana itu terjadi oleh berbagai keyakinan dan menjadi promosi syiar keyakinan. Akan hal sifanya yang fiksi tentu terasa lain dengan muatan keresahan, muatan intelektual akan ide termasuk juga ketika serangan terhadap sebuah pandangan dengan pengisahan. Beberapa yang mengecam akan fiksi yang menyerang secara sengaja—karena memang bersifat kreasi, memang telah terjadi hingga menjadi sebuah pelarangan. Lantas literasi yang berkembang untuk mengkreasikan hal yang menyerang keyakinan ? Dengan ini misi menjadi berperan untuk menggerakan hal ini ?
...
Juni
Ketika Misionaris Medis Tidak Bisa Mencitrakan Akan Keterisoliran ?
Misi Kristen & Akses Kesehatan Dasar Sudah Cukup Terpenuhi.
Modernisme dan perkembangan dasar ilmu kedokteran telah menjadi jalan dan jembatan perihal kemanusiaan untuk pekerjaan misi, akan halnya kristenisasi yang sebarannya juga dijalankan para zending misi kolonial. Berdasar dari ini sedikit banyaknya juga mengetahui akan selalu misi Kristen yang punya latar medis, tergambar juga dari pesan yang ditampikan dari beberapa tahun lalu dan selalu mendapat update akan keterlibatan misi dimana tampilan fotonya selalu bersama stetoskop, juga karena fungsi tempat tinggalnya yang menjadi klinik pengobatan bagi warga dengan gambaran yang sangat terisolir tersebut.
Walaupun juga diketahui akan banyak waktu jeda untu meninggalkan keterisoliran tempat—yang memang tidak ditinggali sepanjang tahun, menjadi pembanding akan tuntutan dari tenaga medis lokal.
Bersinggungan dan tidak bisa dibantah akan hal ini. Dijelaskan kemudian, bahwa hadirnya negara-negara dalam perkembangannya telah memajukan dan terlibat untuk memenuhi taraf dasar dari kebutuhan warganya akan kesehatan. Maka adakah yang dinegasikan dari kesan misionaris medis ketika itu dulu sangat dibutuhkaan akan tetapi sekarang menjadi—dikarenakan sebuah kesadaran dan tingkat keterpencilan yang semakin berkurang, menjadi tidak, agak sukar akan halnya unsur kefaedahan.
Invaliditas atau ketidakfaedahan (versi yang lainnya juga adalah inkompetensi) dan tentu menjadi pertanyaan akan tindakan medis apalagi yang harus dilakukan ? Juga sebagai misionaris ketika itu dilakukan ? Sangat mendasar pertanyaannya yang sepertinya dihadapkan tantangan kebutuhan dari tindakan misi tersebut. Bisakah rangkaiannya dimulai dari Peter Parker sebagai misionari medis dengan sebuah kepastian penanganan akan katarak yang jauh lebih tertangani dalam beroleh kesembuhan didaerah Tiongkok daratan dibanding dengan pengobatan tradisional china itu sendiri. (Hardiman 2006,12).
Selanjutnya memang dicatat sebagai perkembangan dari rumah sakit-rumah sakit yang berdiri, tercatat ada ratusan rumah sakit dan depot obat (apotik) untuk melayani satu juta-an pasien dimana diawal 1858 dimulai dengan misionaris medis yang terus berlipat ganda. Perdebatan internal yang selanjutnya terjadi ketika ditujukan sebagai alat, apakah berperan sebagai injil sosial (social gospel) atau bisa digunakan sebagai strict penginjilan yang tentu punya ekses dan konsekuensi, karena periode selanjutnya yang menuntut profesionalisasi, dimana tidak bisa medis hanya pelengkap dari kegiatan utamanya yakni; berkotbah (Tucker; 1983).
Sadar jikalau kemudian terbersit dan meninggakan jejak kecurigaan ketika aktivitas medis misi nenjadi semakin berkurang perannya, bersamaan dengan munculnya negara-negara dan wilayah baru dengan fungsi administratif pengembangannya yang tentunya memasukan unsur pelayanan medis ini. Bahwa menjadi peran dalam satu kewilayahan. Lantas bagaimana ketika peran medis tersebut sudah diambil oleh negara ?
Penggiatan misi menjadi sangat menarik untuk dipantau, mengingat dalam kondisi sekarang dan berlanjut adalah kemunculan media sosial. Hal yang membuat banyak hal bisa terhubung.
Sebuah Daya Jangkau Dari Peran Misi Tersebut.
Pelayanan medis yang berusaha memenuhi jaminan layanan kesehatan bagi rakyat indonesia yang koloni masa lalunya telah cukup memberi model layanan kesehatan, bahwa hanya 36% kemampuan pengadaan kesehatan oleh negara, dimana pemenuhan sisanya oleh swasta sekitar 64% juga bercirikan kemampuan bisnis kesehatan dan juga afiiasi kegamaan dalam peran serta kemanusiaannya. Komposisi terbesar tentu dengan jangkauan akan jumlah populasi penduduk.
Dimana ketersebarannya memang di pulau jawa dan sumatera dengan populasi yang besar dan padatnya nyaris 60%. Sebuah komposisi dari 36% penduduk yang menjangkau 80-85 juta dalam kisaran total penduduk. Bahwa pemenuhannya tetap membutuhkan campur tangan yang lain tentu peran medis modern dalam hal ini misi berperan sebatas proselitisme atau tuntutan konversi keimanan ? Keterisoliran-keterisoliran membutuhkan peran medis yang menjadi tanggun jawab negara, ketika sebelumnya misi medis telah merintis, yang sayangnya memang masuk kedalam persebaran yang kecil. Sebuah tantangan misi dalam menjamin harapan hidup ? Maka ini jelas bukan suatu tuntutan proselitisme—semata menambah populasi anggota keagamaan, jikalaupun hanya dalam sisa-sisa yang kecil dan sungguh berada dalam wilayah yang terisolir.
Membuat pengadaan layanan medis dasar dengan asupan dasar obat yang tentunya meninggalkan ‘kearifan’ dan tafsir lokal dalam memandang penyakit semata peran kemampuan supranatural, untuk meningkatkan harapan hidup. Bahwa kemudian berujung pada kesaksian yang tetap dalam sebuah kebebasan. Karenanya ketika negara mengambil peran dan tantangan ini, peran apa yang dimainkan oleh misionaris luar tersebut selanjutnya ? Terpikir bahwa sebuah daya jangkaunya adalah populasi bukan semata pencitraan keterisoliran ?
Karenanya memang menjadi sukar, sekedar mencitrakan pelayanan medis dengan jangkauan populasi penduduk yang tidak banyak. Tersebutlah kisah ketika itu dilakukan bahwa tenaga misi menjadi pelayan medis, bahwa itu tidak dilakuka akan kontinuitas waktu, karena adakalanya waktu yang cukup lama untuk ditinggalkan. Menjadi pertanyaan bahwa apakah ini menjadi aktivitas medis yang prioritas berada dalam taraf kebutuhan yang melekat akan urgensinya ?
Juga menjadi pertanyaan akan kehadiran misonaris tersebut. Bahwa anggapan dasarnya akan kebutuhan kesehatan beroleh pemenuhan, sekalipun cukup terisolir dan berada dalam intensitas yang kurang, yang walaupun diisi oleh misonaris akan tetapi bisa juga untuk ditinggakan, kalau tempo-tempo ada "traveling" lain yang harus dilakukan, juga diniatkan—maka apa yang diharapkan dan menjadi tuntutan dari peran serta misionaris tersebut ? Motif yang sukar ditelaah dari sekedar misi keyakinan mengingat kesamaan untuk mendekati dan membawa persebaran keyakinan juga dilakukan oleh tenaga misi lokal.
Gambaran ini yang jikalau terbersit juga bisa mempertanyakan laku aktivitas misi apa yang bisa dilakukan, karena memang kesaksian Injil masih terbuka dalam cara pandang terhadap populasi ratusan juta muslim, sebagaiamana Indonesia yang demokratis ini dan sebagai negara dengan populasi islam terbesar dunia yang berupaya menjadi negara modern yang demokratis untuk meningkatkan dan menjangkau warga masyarakat yang terpencil, tentu dengan taraf dan kualitas layanan kesehatan yang berupaya ditingkatkan.
***
Sementara sebuah contoh bisa menokohkan dari peran medis ketika Tigor Silaban, salah satu dokter perintis dalam meniatkan iman pelayanannya yang telah setia berada didearah-daerah terisolir dipedalaman Papua, wafat karena terpapar covid 19, kesan aminisitratif kemudian yang nampak, sekalipun tak terbantahkan kesaksian dan niatnya dipedalaman.. Sosok Tigor Silaban bukanlah meruncingkan, bahwa sosok lokal, terikat fungsi profesional dokter dengan hasrat‘berpelesir’ dalam beberapa kurun waktu dari tetap berlangsungnya aktivitas misi tersebut.
Referensi :
Hardiman., David Ed “Healing Bodies, Saving Souls Medical Missions In Asia And Africa”, Rodopi 2006.
Tucker., Ruth A From Jerusalem to Irian Jaya: A Biographical History of Christian Missions Hardcover – IVP, 2004
Dekonstruksi Misi; Terkungkung Hanya Mengurusi Lansia, Sebuah Perjalanan...
Bisakah dan menjadi perenungan akan kondisi yang berbarengan dengan pandemi—agak lebih awal, dimana musibah kejatuhan lansia menjadi tanggungan yang membatasi. Menjadi terhayang sungguh menyita, dengan segala keterbatasan.
Menarik ketika terkait dengan pelayanan dan menhadapi kejenuhan, karena tanggungan meskipun pandemi beransur pulih dan bersyukur telah melampauinya tanpa terjankit dengan selalu dikunkung cerita dan kesan horor. Akan tetapi tetap harus mengurusi lansia. Menjadi sangat terbatas ketika tertanggung mengurus hal ini. Kecederungan dari ketergantungan yang dipenuhi dan selalu kecenderungan “abusive”.
Mengurus perlambatan, penyusutan adalah bagian dari perilaku ini, dengan segala kerawananan perilaku yang jauh dari pemeliharaan. Merasa eksis dalam pelayanan ketika terbatas seorang diri mengurus lansia. Realita yang bersifat tidak mendukung dan menjadikan terkesan berbeda ketika misi dalam iman kristen menjadi tantangan berbalik.
Pengurusan dan perawatan lansia tertanggung dengan segala keterbatasan, emosi dan tidak menentu akan kesiapan dalam kondisi terdisrupsi dan semakin menyusut tentu akan dekonstruktif akan konsepsi dan niatan ideal akan msii pelayanan yang menuntut buah-buah dalam penanganan soal-soal kemanusiaan.
Sebuah pergumulan dan tantangan dalam sejatinya misi adalah soal relasi dengan manusia. Juga menjadi pertanyaan; apakah paulus para rasul pernah dihadapkan pada mengurus lansia yang seperti tidak ada harapa dan menjadi tanggungan dalam menyusutnya kondisi fisik ? Sebuah pertanyaan janggal ? Juga sebuah ketidaksiapan untuk merenung ketika hal-hal yang menuntut perhatian tambahan.
Pergumulan ketika dihadapkan dengan hal yang tidak membangun atau bersifat dekonstruktif tersebut. Mempertanyakan selalu akan pemeiharaan Tuhan dan bergumul dalam relasi dengan manusia.
Pokok Doa: Bersyukur Dalam segala keterbatasan gerak dan berangsur akan pandemi yang menuju akhir. Semoga. Pelayanan gereja posko sebagai “katalisator” (contoh dan membantu perubahan) dari Indie Reform beralih ke persekutuan rumah. Fokus pada literasi dengan buletin “Cibinong Review” yang semoga bisa aktif kembali. Juga diakonia yang tentu dengan segala keterbatasan.
Lebih lengkap Buletin Misi "Seputaran Pinggir" bisa dibuka dan diunduh pada tautan bawah ini.