Perlukah Ada Revisi Terhadap UU No. 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak ?
Misoginisme, Runtutan Media Dan Derajat Kekejian Anak-Anak (Laki-Laki) Untuk Tidak Terlindungi Sebagai Korban Manakala Menjadi Pelaku…
Hal yang tidak mengenakkan—dan kerap kali terjadi dalam Algoritma modern ketika runtutan dari info secara latah akan menyajikan berita dengan tema sejenis, menjadi pertanyaan dan kerap agak dimaklumi bahwa apakah ini sengaja dari media yang mencari, terlebih mencari-cari dan memunculkan—bukankah demikian yang dimaksud Algoritma tersebut ? Apa yang menjadi runtutan ? “berita buruk” adalah sebuah kabar berita “bagus” yang untuk itu media hadir—Bad news is good news ! Dengan ini “berita buruk” itu layak kita konsumsi, layak untuk berturut-turut hadir dihadapan kita. Dan inilah yang menjadi runtut itu !
***
Sulit mengabaikan, juga dengan porsi karena kita sudah terbiasa dengan berita kriminal. Terjadi, jasad anak perempuan berusia belasan tahun dengan pakaian olah raga ditemukan di lokasi pekuburan diwilayah kota Palembang dan bertanya-tanya lebih jauh untuk menjadi dugaan, bahwa tepat diakui para pelaku—yang memang pastinya jasad anak smp itu korban pembunuhan, hingga dalam setarikan nafas untuk menyertakan bahwa para pelaku laki-laki tersebut yang dalam perlindungan secara khusus untuk tidak membiaskan karakter misoginis (baca: menjadikan perempuan sebagai objek korban) yang pastinya punya potensi---kali ini terpaksa saya harus berpihak pada para feminis; bahwasanya mereka, para pelakunya tersebut juga melakukan tindakan perkosaan[1]
Selanjutnya yang menambahkan kesan miris dalam perangainya para bocah pemerkosa dan pembunuh itu juga beberapa terlibat pencarian bersama orang tua korban dan warga untuk juga, kemudian kita bertambah takjub akan derajat kekejian dalam sebuah upaya kejahatan yang ‘terencana’ ketika mereka, para pelaku itu, yang terlihat ikut mencari jasad itu, yang masih dilindungi itu, yang ada pasalnya itu; bahwa memang menyeret jasad korban. Penjelasannya memang karena kepanikan dan juga polos untuk menduga korban pingsan, serta merta menimbun dengan takjub akan perilaku keji mereka, ketika kemudian dalam perlindungannya, karena memang ada UU untuk itu (UU No 35 Tahun 2014); anak-anak para pelaku pembunuh dan pemerkosa diganjar dengan hukuman rehabilitasi.
Ekspose kita tentu bukan pada kehilangan keluarga, bahwa dalam ketidaksanggupan mencerna dan merasa aman dengan lingkungan yang harus mereka relakan untuk putri mereka menjadi korban. Dan setelah itu ada beberapa pemerkosaan yang para pelakunya diduga sudah lolos dari jeratan dibawah umur UU Perindungan anak tersebut serta untuk menaikan level kedaruratan yang untuk itu kita tidak bisa menyalahkan media, ketika media terus dan runtut memberitakannya.
Kekejian lain juga didapati, berita dilain tempat perihal remaja perempuan penjual kue keliling yang hilang dan ditemukan telah terkubur, pastinya tinggal nama dan masih bisa dikenali[2]—diperlukan visum untuk mengoptimalkan guna kita bisa merenggangkan syak wasangka kita, apa itu menjadi penting untuk tidak dengan dugaan terburuk? Dalam kejahatan yang misoginis-patriakhis, perempuan sebagai objek dan korban tersebut, niatan leceh mendominasi dan memaksa secara seksual rasanya pasti terjadi. Saya yakin ! Remaja perempuan penjual kue keliling ini korban perkosaan juga !
Maka yang kemudian terlontar dan mencuat untuk kembali pada kasus anak-anak pemerkosa dan pembunuh di Palembang tersebut, tidakkah sepatunya UU no 35 Perlindungan Anak ini direvisi ? Derajat kekejian sudah tidak bisa dan terbukti untuk dilindungi dengan ganjaran yang cerah memandang anak-anak dibawah umur yang masih punya potensi massa depan--justru adalah prospek ketidakadilan dan kerap dikangkangi. Melindungi anak yang telah membunuh dan memperkosa itu bagaimana ya ? sayang memang kegeraman kita harus ditumpahkan yang seumur dengan lamanya kita melawan lupa serta kekhawatran kita juga hanya ditepi, karena yang ditengah adalah tetap anak menjadi bagian dari keluarga—masih tetap terbayang dengan rentang waktu ketika massa pandemi ada segelintir bocah membunuh anak tetangganya, di wilayah kota Makasar.[3] Dimana yang menjadi korban adalah yang lebih kecil dalam usia sepantaran mereka untuk diupayakan diambil ginjalnya, niat dan motif ekonomi tersebut akhirnya harus terhenti meski sudah tersedia korban ketika situs pembeli ginjal yang menampilkan order tersebut tidak lagi tersedia dan mereka tetap dalam kepolosannya, tidak tahu akan tata letak organ ginjal yang dimaksud pada jasad korban. Ganjaran yang berurusan dengan orang dewasa adalah kemudian, rumah mereka, yang ditinggali para orang tua pelaku itu pun diamuk massa. Tentu mereka, para pelaku yang masih dibawah umur tersebut terproteksi dengan UU Perlindungan anak.
Karenanya dan dengan ini ketika mengemuka dengan anak-anak yang belum memperoleh identitas pribadi dari negara tersebut, harus menjadi latar pada diri kita dan pastinya kita juga paham bahwa tidak dengan sendirinya anak=anak itu muncul ? Pastinya ada yang meminta mereka, anak-anak itu—dalam hal ini para anak-anak laki-laki tersebut, yang ternyata dalam massa perkembangannya punya potensi untuk biadab, mereka diinginkan untuk hadir oleh orang tua mereka. Jadi mereka, para orang tua itu yang harus disalahkan ? Sebuah pemidanaan untuk orang tua bertanggungjawab bukan hanya ingin menduplikasikan bagian dari entitas mahluk yang berbiak. Tapi harus intens juga melokalisir hal yang tidak merugikan orang lain kelak, dengan ini yang menginginkan hadir adalah juga yang menafkahi dan juga mengarahkan—bias dan bercabang ketika ada anak-anak yang tidak diinginkan; tetap saya melimpahkannya (baca: menggampangkannya) akan keberadaan orang tua disitu ! Pastilah ada perangkat pemidanaan mengenai hal ini. Jelasnya memang harus ada !!
Apa yang tertera dipasalnya ketika menyangkut anak-anak (dalam hal ini anak laki-laki) menjadi pelaku—sayangnya memang agak males untuk mengulik jauh perihal pasal dari UU tersebut yang pastinya memang UU perlindungan anak gambaran besarnya dihadirkan sebagai sangsi tegas atas kejahatan terhadap anak, dimana menjadi perlindungan negara untuk hadir terhadap anak-anak dan menjadi upaya proteksi memberi kesan jera untuk tidak jahat terhadap anak. Akan tetapi ketika anak-anak yang menjadi pelaku ? orang tua yang meminta mereka untuk hadir menemani mereka lah yang harus dituntut ? Menggampangkan selalu untuk adanya orang tua dan lingkungan yang menyangga mereka tersebut untuk bisa juga dijerat. Harus dong !
***
Anak-anak sebagai peniru yang baik[4] dalam kategori transisi remaja menuju tahapan beridentitas usia 17 tahun atau statusnya yang belum berkeluarga telah terkondisikan untuk cepat menanggalkan label kanak-kanak mereka. Pemicu pemerkosaan, adalah upaya agresif ketika stimulusnya kepada para laki-laki dimana tak terbantahkan untuk ditenggarai akan hadirnya pornografi yang rasanya sulit sekali dibendung dengan keluwesan media dan upaya mengaksesnya. Sesuatu yang tidak utuh dan tidak semestinya dalam memandang seks, bahwa dijelaskan memang akan halnya yang jadi pemicu para pelaku sudah terbiasa menyaksikan pornografi untuk bisa dikategorikan kecanduan dalam kasus yang dipalembang[5], sayangnya justifikasi untuk libido aggressor (penyerang, karena bukan sex suka sama suka lazimnya juga ‘terlembagakan’) untuk mendapatkan inspirasi niat jahatnya ini dengan aksesibiltas paparan misoginisme pornografi sukar didapat untuk diketengahkan secara persentase. Sebuah data dirilis akan anak-anak yang justru menjadi objek dari pornografi tersebut mencapai 56%[6], bahwa juga telah dengan berupaya kewenangan terkait kemenkominfo menutup layanan online pornografi, bahwa tetap ada platform media social yang bebas dan sulit dibatasi menjadi sebuah kekuatiran. Akan halnya anak-anak sebagai pelaku tersebut memang nyata-nyata harus melampiaskan hasrat dari terasuki pornografi dan kita butuh yang menguatkan secara data ketika kecurigaan sebagai fenomena gunung es, hanya yang muncul dipermukaan, semantara itu untuk yang tidak nampak ? Pastilah akan menjadi kasus yang mengemuka apalagi jika disertai dengan hilangnya nyawa korban. Untuk kasus remaja penjual kue keliling yang hilang ditemukan terkubur memang sejauh ini tidak atau belum dinyatakan pelakunya, semoga bukan anak-anak !
Anak-anak yang terlindungi dari objektifikasi seksual menjadi anak-anak, umumnya karena memang terjadi adalah laki-laki yang hadir sebagai pelaku ini untuk kita jengah dibombardir fakta kebiadaban—pembunuhan, pemerkosaan dimana UU Perlindungannya tidak menjadikannya semata mereka selalu “korban” ? Dengan cepat apa yang diutarakan sebelumnya untuk menanggalkan label kanak-kanak mereka bersiap menjadi dewasa dan perilaku yang diganjar umum dengan pemidanaan umum tersebut atau ? kita butuh keluar dari sini untuk hadirnya sosok yang paling bisa dijadikan sasaran dan dimintai pertanggungjawaban.
Deskripsi teologis memang tidak meragukan akan hakekat keberdosaan yang dalam segala potensinya bisa berbuat jahat dan mencelakai orang dengan taraf yang paling nir-empati dan tiadanya belas kasihan, kekristenan yang melihat manusia dalam segala kebaikannnya berpotensi untuk berbuat jahat memberi pertimbangan disamping pastinya iman akan pemulihan yang ekslusif melalui sang inkarnasi firman dalam beriman dan bernalar, dimana terlebih untuk kemudahan yang dikutip “hai anak-anak, taatilah orangtuamu dalam segala hal..” (Kol 3:20) untuk kemudian “hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (Kol 3:21).
Sejalan dengan ini anak-anak yang harus ditanamkan kesadarannya secara urutan bukan bapak-bapak dalam tuntutannya, sungguhkah ini ? Karenanya menjadi sejalan untuk anak-anak yang terlindungi melaui UU khusus, UU no 35 Perlindungan anak tersebut, dimana dalam kategori kelompok usia lanjutan fase pra-remaja dan remaja dimintai pertanggungjawaban manakala menjadi pelaku dalam derajat kebiadaban dan kesengajaan karena seyogyanya “taatilah orangtuamu dalam segala hal” sebagai yang pertama dinyatakan ? Terhenti disini, akhirnya dapat dimengerti perihal pasangan keluarga yang sengaja memilih untuk tidak punya anak (child free)? Dengan segala kekuatiran dan kekurangan kemudian yang akan mereka tanggung. Bahwa entah anaknya menjadi “pelaku” atau anaknya menjadi “korban”. Masaksih ?
JPS
[4] Anak Peniru Yang Baik - ZONA LITERASI
[5] Kecanduan Film Porno, Penyebab 4 Anak di Palembang Bunuh dan Perkosa Siswi SMP (kompas.com)