Juni
Kontestasi Politik Yang Tetap Menyuramkan & Pelayanan Yang Tetap Harus ‘Berpihak’ ?
Jadi setelah pemilu raya akan berakhirkah perseteruan “cebong vs kampret” itu? Bahwa tidak bisa membaca lebih, aroma perseteruan yang digiatkan secara intens dengan beban media sosial juga dalam demokrasi ini; pengaktifan peran negara untuk ‘mentertibkan’ mereka yang dalam keliaran media sosial dianggap membangun opini yang salah adalah bagian dianggap tetap menjagga dan terpeliharanya ketertiban tersebut.
Akan tetapi pengelolaan negara untuk memberikan akses kesejahteraan yang luas dan juga ketertiban—lazim dikenal untuk ini. Jadi dalam hal ketertiban dan siapa yang disejahterakan akan kontestasi ini ? Hingga sebuah misi dengan padanan “doktrin anugerah” tersebut, sebuah pemihakan dan menjaga nalar sehat ketika dalam prinsip demokrasi adalah kesiapsediaan untuk mengakui tidak mendapat kepercayaan untuk tidak beroleh dukungan suara dan kemenangan yang tahu akan tanggung jawab dan terasa biasa saja. Akan tetapi terpupuklah kecurigaan itu ? syak wasangka ? tercata kembali demonstrasi dan ekses ‘perusuh’—yang kontra beranggapan itu “rakyat” yang memakan korban. Apa yang ingin dikenang ? bahwa penghargaan kemanusiaan yangg telah merisaukan dan mendukacitakan teramat sangat ketika prosesnya menyeleksi ketahanan manusia, karena ada korban nyawa dari tegang dan tertuntutnya proses—sejauh yang disadari terbesar dari fakta penyelenggaraan dengan kurang dan lebihnya 500, karena ada proses sakit setelah sebelumnya adalah 150-an korban nyawa dari usia dan tersembunyinya penyakit akan penyelenggaraan yang bersifat bukan hanya pesta negara akan tetapi pesta kewargaan; terasa sekali bagian ini yang bisa jadi akan sangat mengecilkan makna honor karena menjadi sarana kewargaan untuk bertemu di momen ‘coblosan’ tersebut. Akan tetapi inilah yang harus dicuatkan, mengapa ? bukan pertarungan bumi hangus untuk menyalahkan siapa ? dan dirasa pas untuk memunculkan “apa yang salah bukan tentang siapa yang salah ?” .......................................................................................................
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Misi Yang Tidak Memperkaya Diri (Belajar dari yang bukan berpegang pada “Doktrin Anugerah”...)
Jonathan J bonk yang menelaah kritis hingga kita tahu dan mungkin juga terganggu tentang kemakmuran para misonaris barat tesrebut. Ada pangkal yang sepertinya kita dapati sebaagai ketidaksesuaian seorang menonite sanggup melihat tajam. Naifnya ketika yang dipersoalkan seakan menikmati aktifitas pelayan misi dan berada sebaai status quo.
Kemakmuran justru sebagai masalah. Mengapa ? menarik untuk melihat dari seorang Jonathan J Bonk.
Ketertarikan saya pada dinamika relasional mengalir dari materi disparitas sosial dan dalam kedekatan sosial adalah mungkin tidak terhindarkan.[1] Sebagai anak dari orang tua misionaris Kanada, Saya menghabiskan tahun-tahun pembentukan saya di Ethiopia, di mana saya menyerap nilai-nilainya, mengambil hak, dan menghadapi beban materi misionaris dan keistimewaan sosial. Sekolah asrama yang saya hadiri berdiri sebagai benteng Barat yang tidak menyesali keistimewaannya, dengan Ethiopia secara permanen dipindahkan ke dapur, cucian, taman, dan peran kustodian.
Pada bel kecil di meja kepala, seorang pelayan bertelanjang kaki akan derai dari dapur, celemek putih nyaris tidak menyembunyikan pakaiannya sendiri yang tipis. Sekolah itu dikelilingi oleh pagar rantai, dimaksudkan untuk dijauhkan dari yang berhak dan yang tidak berlabel. Sadar bahwa kami dulu anggota kelas superior istimewa, kami datang untuk menerima, berharap, dan kadang-kadang menuntut sikap hormat yang ditunjukkan kepada kami oleh "mereka," termasuk orang dewasa. Dalam drama dan diskusi kami, Orang Etiopia adalah subyek rasa ingin tahu, kadang-kadang objek ejekan, dan sesekali dikagumi karena ketabahan mereka pada wajah kemiskinan dan keteraniayaan; tetapi mereka jarang berteman, dan bahkan lebih jarang rekan sosial.
Melanjutkan pendidikan saya di Kanada, itu akan menjadi empat belas tahun sebelum saya kembali ke Ethiopia — waktu itu, pada tahun 1974, sebagai misionaris. Saya dan istri ditugaskan di Provinsi Tigre, di utara, di mana kami memberikan bantuan dan pengembangan.
Tim berusaha membantu korban kelaparan yang akan segera terjadi mempercepat keruntuhan monarki kuno Ethiopia. Sangat mengkritik apa yang saya anggap sebagai modus misi operandi barat, dengan asumsi kepemilikan yang berurat berakar, Saya memastikan bahwa setiap anggota tim — campuran internasional dari sekitar enam puluh lima dokter dan perawat medis, ahli hidrologi dan Insinyur, petani dan mekanik, pengemudi dan juru masak, penginjil, dan juru bahasa — menerima bagian yang sama akan porsi keuangan. Kami bekerja dan hidup bersama di lapangan dan di kantor. Saya menyesal mengingat bahwa saya tidak selalu-subliminal. Sikap vis-à-vis sesama misionaris terkadang berpadanan dengan orang Farisi (lihat Lukas 18: 9–14). Menyusul pembunuhan pada tahun 1975 dari kaisar terakhir Ethiopia, Haile Selassie, ada perubahan nyata dalam penggambaran media asing barat. Bahwa Derg, junta militer, mulai memindahkan negara dari feodalisme yang opresif ke sosialisme yang tercerahkan, euforia warganya terlihat jelas.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa milenium, petani bisa membayangkan prospek memiliki tanah pertanian mereka dan menuai 100 persen dari apa yang mereka tabur. Tuan tanah yang tidak hadir harus ada sesuatu dari masa lalu. Jutaan orang menghadapi prospek bahagia ketika siswa tersebar dari kota-kota ke kota pedesaan untuk mengajar membaca, menulis, dan sosialisme. Siswa, pada gilirannya, akan belajar untuk menghormati kaum tani dan juga untuk melakukan kerja kasar.
Mengikuti tugas kami di Ethiopia utara, kami ditugaskan ke Provinsi Kaffa di selatan, di mana kopi dianggap berasal. Di sini kami bekerja dengan sejumlah jemaat yang sudah mapan dalam beberapa hari berjalan kaki dari rumah kami di Bonga. Tugas utama kami adalah untuk mendukung pekerjaan penginjil yang melayani di bawah naungan denominasi “Kale Heywet” (Firman Kehidupan). Gereja, merasakan peluang yang ideal untuk layanan dalam tekanan yang muncul pada literasi, diperbantukan guru-guru Kristen dan keluarga mereka dalam jemaat dan melek komunitas di pedalaman provinsi. Kemiskinan masyarakat setempat yang terserang didorong untuk membangun sekolah sederhana dengan satu kamar, tempat agen misi akan melakukannya menyediakan atap bergelombang dan papan tulis, sementara para guru terlibat oleh Gereja “Kale Heywet” untuk memberikan instruksi...........
(Lebih lanjut bisa lihat tautan dibawah ini)
[1] Artikel ini merupakan adaptasi dari materi dari Jonathan J. Bonk, Missions dan Uang: Pengaruh sebagai Masalah Misionaris. . . Telah ditinjau kembali, direvisi dan edisi diperluas (Maryknoll, N.Y .: Orbis Books, 2006).
Desember
Pietisme (baca: kesalehan) Misi & Konteks.
Setelah pemilihan itu
Seperti apakah konteks tersebut dilihat ? Bagaimana itu dihadirkan dalam keharusan kita memandang. Apakah konteks bisa mengaburkan dari hal yang bersifat “semestinya” sebagai pesan ? Disinilah harus dikemukakan akan, setidaknya sedikit bisa diulas ketika misi “orang percaya” dalam pesannya dan juga konteksnya terkait buah dari perillaku kebaikan atau selalu ditujukan untuk itu terlihat; perilaku kesalehan tersebut. Kerap dilabekan dengan pietistik dan lajim mendapati kandungan ini dalam penilaian umum (chandler; 2014)
***
Apa yang berubah dari kekristenan yang “import”dan kerap diidentikan dengan masuk di era penjajahan kolonial ? Peran yang sangat berarti denggan tahapan dan telah diterima sebagai “agama resmi” dan terjamin sebagai keberadaan yang dianggap telah berpartisipasi dan terlibat membentuk kebangsaan hingga dengan itu falsafah pancasilanya (Darmaputera, 2001).
Jadi pergulatan konteks misi itu terlalu kecil sekalipun tidak bisa mengabaikan dengan mana konteks perseturuan politik itu pernah terjadi. Pesan pertobatan melampaui itu dan tidak bisa dikecilkan hanya pada konteks yang telah membelah dan berlangsung bahkan menyeret identitas orang percaya untk identik dengan salah satu calon.
Kekristenan lebih dari sekedar “kesalehan”, dan jikalau ada itu bermula dari pembaharuan akal budi, dengan padanan akan doktrin anugerah tersebut yang menegaskan akan kebergantungan dan pemeliharaan dari Allah dengan cakupan dan keterkaiatan yang memang sangat meluas. Mencirikan sebuah keterlibatan dengan mana konteks yang ada. Bahwa pembaharuan itu digerakan dari sumber atau teks yang dengan ini Allah dinyatakan dan menyatakan akan kekhususannya. Ada beragam dan bermacam konteks tentang mana sebuah tantangan terhadap kekistenan.
Dan sekarang, dengan sangat beragam dan bagian yang bisa dipilah dengan “kecil” berada secara virtual dalam lalu lintas nya yang digerakan akan eksistensi, bukan sekedar melimpahnya pengetahuan akan tetapi juga penujukan eksistensi. Pesan pertobatan itu berurusan dengan ini dalam bagian yang bisa dikatakan adalah “...tak ada sesuatu yang baru dibawah matahari“ (Pkh 1:9) “sebuah dunia yang dilipat” juga sebuah dunia yang bergejolak akan selalu memantang tentang mana kesalehan tersebut. Sekedar dorongan kebaikan ? rupa misi lebih tegasnya rupa-rupa konteks misi menghadapi tekanan.
Jadi pergulatan konteks misi itu teralu kecil sekalipun tidak bisa mengabaikan dengan mana konteks perseturuan politik itu pernah terjadi. Pesan pertobatan melampaui itu dan tidak bisa dikecikan hanya pada koteks yang telah membelah dan berlangsung bahkan menyeret identitas orang percaya untk identik dengan salah satu calon.
Kekistenan yang terlalu saleh pada konteks yang bias ini ?
Bahwa pietisme itu tercatat sebagai gerakan—tercatat sebagai bagian dari Lutheranisme yang menyebar hingga berpengaruh kekalangan Reform, ini memang menjadi bahasan yang lain dengan kedalaman pengertiannya yang sangat teologis akan tetapi ketika karakteristik identitas gereja dan pelayanan diarahkan hanya kepada berbuah dari kebaikan. Maka bisa jadi memang akan ada pertanyaan lain, sekedar terlihat baik itu terkesan abai akan konteks, maksud yang dituju adalah gejala cukup terihat bergumul dengan konteks dengan yang dimaksud hadirnya pelayanan dan identitas keyakian yang tidak beroleh gangguan yang berarti.
Kesalehan dari buah roh (Gal 5:22) jelas tidak bisa bernilai politis untuk secara praktis menjadi sokongan yang utama yang tertuju dalam ‘hak’ mendukung dan menyatakan dukungan tersebut, atau dari sini kita menilai adalah hal yang diatas dari pertarungan politis yang selalu mengingatkan akan ada yang lebih dan kekuasaan yang harus melayani, yang untuk itu bersifat konsekuensi atau buah yang dihasilkan dari pemilu. Dengan ini tidak ada perbedaan politis yang terlalu menyiratkan sebuah pembeda dengan menyerukan permusuhan, juga sadar ternyata yang sangat praktis para elite itu bisa mempermainkan. Karena sekalipun Krsitus menjadi korban yang bisa dikecilkan hanya sekedar perkara ‘politis’, sebagai sebuah rangkaian keharusan disertai juga pengampunan (Luk 23:34; bersifat momen pengulangan yang dicetuskan atau “nubuat” Maz 22:19) dan fakta kebangkitan (Mat 28:1-10, Mrk 16:1-8, Luk 23:56b-Luk 24:12).
Bahwa tantangan iman percaya menyadari konteks termasuk yang untuk itu sadar ketika sukacita kita bukan untuk ketidakadilan (1 Kor 13: 5). Dengan ini sedapat mungkin kritis itu adalah bagian dari kesalehan, setelah keterpisahan karena pemilu dalam proses demokratis yang paling membawa keterbelahan dari pengalaman kita dengan identitas demokrasi tersebut.
Membawa respon kesadaran bahwa keterpisahan kita dari Allah yang penuh kasih dalam konteks yang harus demokratis dan segera sesudahnya adalah pembagian kewenanan kursi yang sungguh dan juga bisa membuat skeptis untuk tidak mau terlibat—bagian lain dari kewargaan yang disertakan tuntutan ‘hak’ akan hal ini. Kewaspadaan bukan karena identitas kita semata tetapi peran dari buah-buah yang melimpah karena akar kesalehan kita.
Misi yang berangkat dari keyakinan Injil melampauai dari sekedar tampilan kesalehan, bahkan ada yang berani berujar sebagai kemunculan akal sehat sebagai buah yang dihasilkan (Anderson, 2014), prinisp dalam “doktrin anugerah” haruskah terlibat dalam hal ini ? menjadikan bagian untuk mencegah yang politis guna teribat secara politis karena kesalehan tidak meyoal pokok doktrin yang sangat spesifik.
Jelas perlu ada kritik dan keterlibatan ketika tidak semena-mena dengan kekuasaan yang dihasikan melalui proses demokrasi, kesalehan misi orang percaya yang berpangkal pada doktrin anugerah terlibat dalam hal ini untuk juga mengdepankan aksen pancasilanya ?
Referensi
Perihal pietism https://en.wikipedia.org/wiki/Pietism
Anderson, Owen (2014) “Piety & Knowledge of God: Reason & Faith At Early Princeton”
Palgrave Macmillan
Chandler, Andrew (2014) “Evangelicalism, Piety & Politics.
The Selected Writing of WR Ward” Ashgate 2004
Darmaputera, Eka (2001) “Pergulatan kehadiran Kristen di Indonesia: teks-teks terpilih
Eka Darmaputera” BPK-GM
Katalisator bagi Indie Reform, Tercapaikah ?
Sebuah perubahan & Tantangan terkait penggiatan yang tidak umum.
Katalisator bagi Indie Reform tercapaikah ? Bagaimana itu dimulai. Dan sudah sejauh mana itu digiatkan ? Tentu menjadi pertanyaan dan penilaian ini harus kembali dimunculkan, karena terkait secara praktis dengan doktrin anugerah yangg harus konkrit dalam kemunculan persekutuan-persekutuan yang mandiri. Hal yang diajukan sejak dari edisi awal (edisi Des 2017, “Sesuatu Yang diniatkan diawal, “Journey To Reformed Pentacost” Mungkinkah ? dengan selalu memahami dinamika yang ada.
Sebuah pergumulan yang memang menghadapi tantangan dengan konteks dan rupa-rupa hal yang menjadikan selalu pertanyaan tentang doktrin anugerah reform dalam konteks yang mandiri ini. Baik keberadaan sebagai mirnoritas dan sumbangsihnya dalam fungsi pelayanan dan persekutuan, karena memang telah berubah banyak. Bergiat dalam hal ini dan masih yakin untuk hal ini ? meyakini akan tindakan misi yang berdasar kepada ortodoksi iman percaya.
Beberapa rintisan pelayanan juga telah dimulai. Penggiatan literasi sebagai sesuatu yang baru dan mungkin bukan bagian intern dalam pelayanan lihat edisi Juni 2018 “Membaca Dostoevsky Dipinggiran ?” jelas terkesan tidak sinambung, karena bersifat misi yang seakan harus jelas identitas sektarian. Sangat jauh untuk menumbuhkan kekritisan ketika dasar yang berpadanan dengan doktrin harus bergiat untuk itu. Salah satu yang dirasa ingin dituju ketika menghadapi kesukakaran dan juga menjadi tantangan akan keekslusifan pesan.
Sayangnya, dalam beberapa kendala taman baca yang menjadi pangkal utamanya juga tutup.
karena tempat yang beralih fungsi. Disayangkan, juga tidak ada pencapaian lain, dikarenakan misi dari sebuah keyakinankah, yang memang sudah tersaji sebagai ruang publik dimana kebutuhan literasi tentu bukan hal yang pokok.
Sebuah rintisan yang bersifat umpan balik ketika aspek doktrial dianggap tidak kentara. Dan menjadi pertanyaan ketika seperttinya yang bergiat semakin teruji, bahwa selalu menjadi pertanyaan tentang konteks dan kesiapsediaan. Bahwa bukan bagiannya yang terlihat “keren”, mumpuni dalam rintisan akan tetapi mengerti konteks dan ujian akan hal tersebut. Bersyukur akan pemeliharaan Tuhan dimana tantangan misi itu diemban dengan selalu ada pertanyaan.