Pemerintah Yang Dari Allah Itu…
Dampak amarah dan kekesalan yang melahirkan gelombang demonstrasi dan protes terhadap pengesahan RUU TNI menjadi UU (undang-undang) TNI pada Kamis, 20 hingga Jumat dini hari 21 Maret--bahkan terus berlanjut, bisa ditangkap tanpa harus mengurai dalam memandang ketika yang terprotes tentu adalah penguasa yang berinisiatif, karena kesan yang didapat tersembunyi dan kilat dalam meng-goal-kan UU tersebut.
Keresahan dan ketakutan yang cukup bisa terkomunikasikan, karena meyakini pendemo tahu betul akan substansi dari mengerikannya kekuasaan dibelakang dari UU TNI yang diam-diam dibahas dan ingin cepat jadi perangkat yang melegalkan kewenangan militer. Walau sebenarnya kata yang diam-diam membahas tersebut, ini cuma 3 pasal penyesuaian yang salah satu pasalnya operasi militer selain perang (OMSP) dengan tambahan personal militer yang ditempatkan ke posisi ‘strategis’ sipil dalam hal ini bersifat professional tanpa harus terlebih dahulu pensiun dari militer. Yang mana itu telah dilakukan sebelum RUU itu diajukan menjadi UU. Ilegal dulu sampai dibuatkan menjadi legal !
Iman percaya kita dalam keterlibatan menjadi kesaksian tentu juga, dengan demo yang cukup menghentak dengan penolakan dan slogan “kembalikan TNI ke barak” serta keresahan dan ketakutan akan kembalinya orde baru—menjadi bertanya-tanya apakah ini berpengaruh ? Kekuatan yang menekan (represif) dari militer yang cukup dominan dan akan halnya pelanggaran militer yang punya sistem peradilannya sendiri, sungguhkah itu akan kembali ?
Jawabannya memang secara sejarah dan nilai-nilai, yang pasti dimassa orde baru yang militernya berkarya dimana-mana itu; kejadian gereja dibakar tetap ada, kerusuhan yang menyasar dengan isu sensitif perihal berkeyakinan sebagai konflik sesama warga (horizontal) atau katakanlah sekedar pelampiasan tetap ada. Dalam nilai-nilai Demokrasi, yang untuk ini kita harus menyanjung dengan sebuah fakta akan sumbangan prinsip kekristenan tentang manusia berdosa yang harus diwaspadai termasuk untuk penyelenggaraan kekuasaan—dimana iman percaya kita menyatakan untuk kekuasaan negara yang melayani, hal mengenai militer memang hanya alat negara bahwa mengenai statusnya yang tidak sipil, tentu porsi “melayani”-nya adalah hal yang berbeda. Dimana rasanya akan sulit diawasi ketika tidak setara & proses penindakan yang berbeda.
Fasis-militeristik ?
Benarkah akan mengarah ke fasis-militeristik ? Rasanya menjauh jikalau sudah dalam kesadaran menjadi status penyelenggaraan keuasaan negara yang dihindari. Amit-amit ! Kalau terjadi penyelenggaran negara dengan “siap ndan” dalam struktur yang hirarkis hingga ke masyarakat, ke kita-kita yang sipil ini tentu tak terbayang, ideologi atau nilai-nilai yang dianut sangat totalitarian—fasis milteristik itu memang sangat kejauhan; mendominasi untuk sedikit adanya kebebasan yang meyangkut kritik dan pilihan karena kepemimpinan yang diktator atau kalaupun tidak tahapan sebelum jadi junta-militer (Myanmar) yang bukan diktator perseorangan, sungguhkah akan dituju ? Sedikit kekhawatiran rasanya karena prosesnya yang diam-diam tersebut dan tentunya kita sudah lazim dengan pilihan poltik dengan demokrasi yang terbuka. Jadi sebagaimana dalam demokrasi dimana elemen militer ini dalam soal-soal politik kewargaan, argumentasi, hal-hal yang memang biasa dilakukan oleh sipil harus tidak diikutsertakan. Tetapi mengapa bisa niat untuk (di)muncul-kan lagi? Diinfokan bahwa ini RUU yang tertahan selama hampir 20 tahun untuk menyiapkan militer sebagai alat negara dalam hal urusannya yang lebih berdaya karena sipil yang kewalahan ?
Memang tidak bisa menyentuh akarnya langsung akan hubungan milter-sipil ini yang konon persoalan modern dalam hal menata kewenangan kekuasaan, jadi sorotan dari Kekristenan agak terhalang, mengingat Kekristenan bukan keyakinan politis dengan propaganda kerajaan sorga-nya yang tidak ingin menggulingkan kekuasaan yang ada, sekalipun Tuhan Yesus yang disalib oleh militer juga atas desakan sipil dari otoritas kolonial sipil penaklukan.
Kembali pada kondisi Indonesia sekarang. Bahwa ada ketakutan, kita tetap harus menelusuri akan keuasaan rejim yang sekarang—tetap bertanya-tanya bagaimana bisa seorang yang tergradasi (turun status) dan sampai meninggalkan negara ini; kembali, mendirikan ormas yang akhirnya jadi partai dalam perjalanannya mebjadi cawapres, capres, hingga pres itu sendiri !
Kembali pada iman percaya yang dianggap menyumbang kepada Demokrasi dengan prinsip kesetaraan dan keterlibatan yang “civilize” itu dengan juga tahu meletakkannya “…sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah…” (Rm 13:1) maksud dengan ini jangan merespon dengan protes ? Mempercayai bahwasanya pemerintah akan melakukan hal yang baik ! ada banyak tafsiran dan penelusuran. Akan tetapi, pada bagian lain, menyoal yang dari Allah itu harus juga dirundung bahwa “…Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan…”(1 Kor 13:5) pastinya kita siap dari Demokrasi menjadi “siap ndan” ? Dan berawas-awas dengan hal ini, tentulah tidak kejauhan bagi yang rapat perumusannya dimulai dari diam-diam…
2503'25