Juni
Dari Pandemi Ini, Segera Pemulihan Dan Sebuah Kesaksian...
Ketika pegantar misi menjelaskan pokok-pokok yang ekslusif pada iman percaya—pada edisi juni dan desember 2020 yang selalu mengaitkan dengan konteks maka, wabah global yang kita rasakan dan sungguh memukul kita; pembatasan hingga pertumbuhan ekonomi yang minus membuat kita tidak lagi sama dan harus keluar dari krisis wabah global ini dengan peajaran yang sangat berharga.
Menambahkan akan kehilangan dan bersyukur akan tragedi tersebut dengan melihat kerapuhan manusia, terlebih akan kelompok-kelompok dengan batasan usia ketika wabah menyerang dan sangat rentan terdampak dengan menjadi korban terjangkit. Aktualisasi beragama, baik meyakini atau meninggalkan tentu menjadi bagian tentang mana cara pandang kita menilai. Beberapa report menyatakan tentang paradoks religiusistas yang meningkat sekalipun kegiatan peribadatan terbatasi[1].
Dengan pandemi ini, yang sepertinya bisa menilai pandemi-pandemi sebelumnya dengan resiko, gejala, dan dampak penyebaran yang berbeda-beda disetiap wabah pandemi tersebut; maka pertanyaan-pertanyaan seputar keyakinan dan yang melandasi penilaian akan wabah tentu menjadi bermunculan. Hal yang bisa juga menilai dampak beragama, aktivitas berkeyakinan agama yang semata bukan hanya pembatasan tetapi juga kepedulian; dimulai dari hal-hal mencegah karena aspek kesehatan seperti pembagian masker hingga charity akan distribusi makanan, bahkan seruan dari sekretaris organ kegererejaan oikumene internasional menyerukan hal ini disamping juga diawal-awal pandemi ini.
Seruan penyangkalan wabah dengan latar keagamaan—hal yang memang justru akan menambah banyak korban. Dengan menjadi maklum dan terbiasanya untuk aktivitas peribadatan secara daring; hal yang tentunya dicapai dengan kemajuan teknoogi juga, penyesuaian akan kondisi dimana relasi umum dan sederhana untuk dibutuhkan karena status sebagai insan sosial harus dikekang. Maka dari sini kesaksian dan cerita-cerita, kesaksian akan terbatasnya dalam relasi dan kontak, cerita bukan kekuatan pribadi tapi kepedulian dengan mengakui bukan menyangkal akan wabah yang menguji daya tahan jika berasa dari keyakinan; jelas menjadi tanda keyakinan tersebut yang tidak bersesuaian dengan kenyataan.
Juga ketika berada dalam suatu kewenangan dan sekaligus juga berhadapan dengan kewenangan yang mempunyai kekuasaan tersebut, dalam hal ini tak bisa berkilah dan dapatlah disebut akan kewenangan negara. Yang pasti hadirnya kita meyakini akan pemeliharaan Tuhan. Akan tetapi negara yang cukup banyak dan telah hadir bersamaan dengan usia kita juga—hampir dan nyaris kita mengecap kehadirannya tersebut, yang kehadirannya tampak termotivasi untuk menyejahterakan. Akan tetapi sisi lain yang tidak akan habis pikir ketika penilaian untuk hadir menyejahterakan tersebut, tetap menggenjot investasi dalam kondisi wabah seperti ini—terjadi dengan segala kekhawatiran untuk konteks kita, hingga sebuah UU bisa dengan segera beroleh pengesahan (Buletin Misi Desember 2020, “Pembangkangan sebuah respon dari pemaksaan Kehendak”) hal yang juga muncul bersamaan dengan kekhawatiran akan wabah global dimana rasanya jarang untuk tetap mendahulukan inestasi guna menyejahterakan terebut ketika masalah utamanya adalah resiko kesehatan.
Kekhawatirannya ternyata kekuasaan bisa sewenang-wenang. Bisa mengkuatirkan akan target dari janji-janjinya (politik)—dalam konteks yang berlaku untuk kita di Indonesia karena pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa dicapai oleh kekuasaan yang dianggap bisa memberikan dampak kesejahteraan, karenanya dan ditambah dengan wabah—yang tidak bisa dikecualikan dan justru membuat semakin terpuruk. Pikiran yang diniatkan untuk menambah dan menggerakan investasi tersebut tidak boleh ikut terpuruk.
Sekalipun banyak yang menolak dan anggapan kekuasaan selalu memikirkan yang baik, tetap pemberlakuannya menjadi kehendak yang berkuasa itu sendiri, ulasan dan keberatan dengan faktor lingkungan menjadi terabaikan. Bahwa kecenderungan untuk semakin menunjukan kewenangannya dengan kekuasaan yang dipegang memang terjadi. Akan tetapi perlu dipertimbangkan apakah faktor utamanya adalah faktor kesehatan bersama yang terancam. Adalah sebuah kesaksian untuk keberatan dengan kekuasaan ? atau kesaksian untuk menuruti kekuasaan ?
Kekuasaan mendisiplinkan dari perilaku warga dan orang-orangnya, bahwa memang kekuasaan pemerintahan sebagai wakil Tuhan (Roma 13) tersebut, menempatkan untuk pemerintahan tahu dan sadar akan kekuasaan yang dimilikinya untuk berbuat sebagaimana wakil yang sangat pantas untuk dipatuhi tersebut.
***
Hal yang diidentikan ketika kekuasaan tampaknya mendukung yang minoritas—sayangnya untuk konteks kita di indonesia kita tidak pernah dimasukan sebagai negara yang sukar untuk mengekspresikan iman percaya, bahwa ada penjelasan dan rilis yang menginformasikan hal ini. (Pokok doa untuk 20 negara yang dianggap sulit untuk menjadi orang kristen) Dan dengan serentetan kejadian dalam pandemi juga adalah upaya menjadi sebuah kesaksian, “normal yang baru yang juga dketahui bahwa bersama dengan proses vaksinasi—keunggulan umat manusia akan selalu berupaya mengatasi wabah ini, sedihnya juga muncu akan varian baru..
Teknologi kita bisa menjangkau pola peribadatan akan tetapi juga harus berfokus menhadapi hal-hal yang selalu mengkhawatirkan dan menakutkan akan varian-varian baru dari virus ini. Menjadi kearifan kita juga, tentunya juga kekuasaan yang mendahuukan kemaslahatan besar. Kesaksian untyk memikirkan dan bersiap juga ketika penyebab baru bisa muncul, membuat kekhawatiran selalu bagi kita.
Berlombanya dan tetap berada dalam pemeliharaan Tuhan akan selalu dicatat kemampuan manusia untuk mengatasi pandemi ini, juga memasukan perilaku baru yang sungguh tak terbayang memang dengan memperhatikan faktor ketersebaran virus untuk dicegah, adalah tetap berharap selalu kemenangan untuk bisa melampaui hal ini.
Perihal pesan Injil yang menjangkau ? yang dihubungkan dengan berbagai kesaksian yang akan muncul, memang tidak pernah berhenti dengan menjadi kesaksian yang semata-mata meneguhkan akan tetapi juga kesaksian dan cerita dari krisis kepercayaan yang dihadapi. Sungguhkah untuk hal ini ? Adalah keruwetannya memang bukan semata pandemi, akan tetapi ekses perilaku dari pandemi tersebut, sangat terdampak untuk mau.
***
Sesuatu yang tak terduga dan sungguh tanpa persiapan adalah ketika harus menghadapi rentetan dalam pandemi untuk lansia, ibu yang terjatuh dan mengalami kelalaian diagnosa serta selang setahun paska operasi akibat jatuh dan harus operasi ganti bonggol kembai mengalami efek penyempitan (HNP/saraf terjepit) yang membuat disfunggsi total.
Sesuatu yang tak terkira untuk penangananya. Sungguhkah ini yang harus dihadapi, yang bukan hanya isolasi akan tetapi juga intensitas dalam pengurusan—karena tidak ada perbaikan dalam 8 hari perawatan. Berada dalam ketakberdayaan berbaring total (bedrest). Tentu hal yang memang tidak disiapkan untuk menghadapi hal ini. Bersamaan juga dengan biaya dan pasti keterbatasan akan pandemi. Senantiasa bersyukur dalam ketakberdayaan, sungguhkah ? sisi baik dari yang lain memang tak terpikirkan. Mohon doa dan terima kasih kepada rekan-rekan yang sungguh menjadi cara Tuhan dalam susahnya untuk menakar dengan “waras” akan kondisi yang dihadapi
***
Akan tetapi bukannya semakin terlihat biasa dan membutuhkan ketahanan yang beulang-ulang untuk selalu mengingatkan, dan tampaknya perlu diketahui mujizat kemujaraban menjadi menjadi semacam menggampangkan masalah—rasanya tidak terlalu ketara untuk diupayakan akan mujiar dan kemujaraban iman. Sepakat akan sebuah wabah yang menyerang daya tahan dan sangat menular. Maka kepatuhan menjadi sebuah kesaksian dengan daya tahan untuk menghadapi keterisoliran. Kesaksian yang kembai kepada individu untuk bertahan ?
Pemeliharaan Tuhan mungkin menjadi pokok pengajaran yang menggampangkan tapi itu kesaksian yang harus dinyatakan—dengan sadar akan keterbatasan dan pembatasannya yang diupayakan untuk kebaikan kita, keberlangsungan kita dan kesaksian kita. Apakah masih menarik kalau kesaksiannya bukan kemujaraban, kesembuhan dan terbebas untuk mengatasi, yang memang berbeda dari kebanyakan orang ? atau justru menjadi bagian dari kebanyakan orang untuk merasakan kerapuhan; tak bisa kebal dari keputusasaan, kecemasan, kerentanan dan gangguan pribadi yang menyerang juga masalah layaknya dialami sekarang oleh seluruh umat manusia—apapun keyakinanya, sedang menghadapi pandemi global ini. Bahwa juga kesaksian karena percaya akan pemeliharaan Tuhan.
[1] https://www.bostonglobe.com/2020/08/27/opinion/pandemic-is-making-people-more-religious/
Misi Mandiri & Sebuah Penggiatan Yang Muskil
Sebuah pelajaran dari Misi “Indie”
Setelah berjalan dan mengaktifkan kembali selama sepuluh tahun dan dengan mudahnya bisa terkecoh untuk ditinggalkan---ditambah akan fakta yang cukup mencengangkan dari rekan yang memang sudah sepantasnya dan wajar berpisah jalan. Sesuatu yang terpikir kok bisa ? apakah tidak diterka dan diduga jauh-jauh hari akan orang-orang yang sangat rawan untuk meinggalkan dan sungguh menjadi benar-benar acuh; terlebih, ketika kesungguhan dalam tantangan untuk terlibat itu menuntut peran yang lebih dan diterka selanjutnya adalah menjadi sebuah pelajaran.
Maka segala seuatunya memang bisa dinilai dan diuji. Sebuah pencapaian untuk hadir dan terlibat dalam kesaksian Injil dan persekutuannya dengan ini kesaksian Injil dan hadirnya persekutuan untuk tidak sekedar meramaikan akan telah hadirnya dan juga banyaknya perseutuan yang ada. Bersyukur akan kasih setia dan pemeliharaan Tuhan.
Sebuah Ego untuk Menjadi Mandiri ?
Keyakinan yang hadir tidak sedang menguatkan wajah kolonial, sekalipun bersamaan dengan era kolonial dan selalu diidentikan dengan kolonial tersebut. Mengapa harus menghubungkan dengan “kolonial” ? Bukannya sekedar “pelayanan biasa” ? Layaknya “pelayanan” hal yang telah terbiasa dikenal, tumbuh dan bermunculan di “kalangan sendiri” dengan ini kekristenan dan dikalangan sendiri atau kalangan kekristenan tersebut memang bermunculan niat yang bersunggguh dengan atau atas nama “pelayanan”. Akan tetapi menjaga jarak dengan kewenangannya yang menjadikannya berkuasa, atau terlindungi kekuasaan jelas harus diupayakan akan sesuatu yang mandiri tersebut. Sungguhkah ada yang tidak menjaga jarak dengan kekuasaan ?
Menjaga jarak dengan kekuasaan dan sedapat mungkin tidak menggunakan fasilitas kekuasaan, pun jika harus tersebar sebagai keyakinan mayoritas. Rasanya dengan semarak yang minim, pangkal keyakinan dengan doktrin anugerah ini tidak terlalu mendapat kesan untuk pertambahan—sekalipun sulit dipahami tidak berorientasi dengan pertambahan yang dengan pesimis, akan tetapi menggiatkannya sebagai misi, kemudian terlembagakannya pelayanan tersebut dengan tetap berorientasi sebagai kesaksian dan bersungguh dalam kemandirian, atau dimulai dengan kemandirian jelasnya adalah sesuatu yang “ideal”.
Sangat wajar dan sekarang menuai pengabaian dan pengacuhan. Terlalu sukar dan ideal, juga kita menemukannya dalam alur pengisahan Alkitab, ketika kondisi sosial memutus rantai dengan meyakinkan kesaksisan akan Yesus Kristus, maka jemaat mula-mula menjadi kesaksian dari regeenerasi yang bukan sekedar identitas keagamaan dan juga menjauh dari hingar bingar politik kekuasaan ketika yang diinginkan akan kesaksian Mesias yang dojanjikan itu adalah hal yang justru tidak menggeser kekuasaan Romawi ditanah hunian Yudea-Galilea.
Bahwa penolakan terbuka terhadap jemaat mula-mula itu terjadi karena penolakan kepada Yesus Kristus, lantas berjarak waktu ribuan tahun kesaksian akan yesus kristus yersebut harus menajdi pesan yang tersebar dan menjadi kesaksian akan tempat-tempat yang punya penolakan akan tetapi kesaksian Injil telah menjadi “resmi”, sayangnya sangsi akan sifat resminya kresaksian tersebut leboh kepada lembaga dan dalam beberapa konteks wilayah dianggap buah dari warisan kolonial, sekalipun sudah cukup lama akan tindak-tanduk kolonial tersebut.
Adalah bersyukur memang kesaksian Injil dari misi mandiri “indie” ditinggalkan tentu dengan mereka yang meninggakan yang memang tidak akan pernah paham akan pesan akan kesaksian mandiri tersebut. Muskil untuk tidak berada dalam ketidakmapanan tersebut...
(lebih lanjut lihat tautan dibawah)
Desember
Dari Pandemi Ini, Segera Pemulihan Dan Sebuah Kesaksian...
“ Resilience “ Yang Mesti Ada Dalam Pendidikan Kita...
(lanjutan)
Ketika tidak lagi dikelas dan tidak bisa dinafikan akan keberadaan yang telah menyatu dalam keseharian tersebut. Tantangan dari bobot pengetahuan yang harus didapat menjadi berkurang, maka realita yang segera “mendewasakan” itu muncul. Realita yang menjadi bobot pengetahuan. Bahwa terkungkung, karena beberapa fase telah dialami dengan pembatasan, terhentinya aktivitas eknonomi dan yang lainnya—utamanya yang teramati memang ekonomi ini, dalam hal yang paling ekstrem hingga 2 bulan, dari umumnya pembatasan 2 mingguan yang berangsur kepada pelonggaran diminggu selanjutnya ketika dirasa kondisi pandemi menjadi membaik; dengan yang terjangkit virus semakin berkurang dan kematian bisa ditekan.
Fase yang dialami sangat parah, tentu untuk konteks indonesia adalah ketika bulan juli, dengan banyaknya kematian justru di rumah, tercatat sebagai rekor kematian dengan nyaris diatas 1200 kematian dengan rekor 2069 pada 27 juli 2021. (CNNIndonesia 27 Juli 2021), tercatat dengan cerita seram akan kematian yang beruntun juga fasilitas kesehatan yang ‘lumpuh’ sehingga ada pejabat kekuasaan wakil gubernur yang berani mengatakan sekitar 30% kematian adalah karena “isolasi mandiri”, yang seharusnya ditangani di rumah sakit. Dengan tambahan fakta juga 11.045 anak yang terpaksa menjadi cepat dewasa, “yatim piatu”, karena ditinggal orang tuanya yang meninggal karena covid (Kompas 8 Agustus 2021).
Maka anak-anak yang cepat dewasa tersebut harus mengenyam dan melanjutkan pendidikan dengan muatan kesiapsediaan beban kurikulum dengan aspek memupuk kecerdasannya untuk kelak berdaya saing ? Atau justru yang lain yang harus disiapkan. Karena yang berdaya saing itu ternyata tidak bisa mengantisipasi akan pandemi yang selalu menjadi pertayaaan tentang muasal virus ini berasal. Dimana selalu juga disertai dengan rumor-rumor kecurigaan sebagai dampak kecanggihan manusia modern yang berpendidikan ini, atau telah menjalani nilai-nilai dengan prioritas pendidikan ini. Dimana tentu faktor keberadaan di kelas menjadi yang utama. Interaksi kelas yang wajar justru ditangguhkan.
***
Muatan pendidikan akan respon pada tragedi. Bahwa itu juga terjadi dan terpelajari di kelas ? Ketika itu juga mengajarkan dalam isolasi— sambil menunggu proses, yang juga hasil dari pendidikan, tertanganinya virus merebak dengan anti virusnya. Bahwa tidak bisa dikecilkan merespon terhadap tragedi tersebut yang ternyata ‘menuntut’ akan kesediaan juga sebagai materi ajar.
Muatan (pendidikan) yang untuk itu juga mengajarkan untuk menerima hal-hal yang pernah teralami dengan sangat mencengangkan. Dimana duka dan pembatasan yang terjadi yang pasti memberi pelajaran yang bisa dibayangkan sebagai materi ajar. Akan terarah juga mengenai materimateri dasar; penyebab pandemi ? satuan mahluk hidup apa virus Covid tersebut ? dalam rumpun kaitan apa, sampai sedemikian mengganggu dan menyebabkan bencana yang global ? keilmuan yang mengkaji ini mengapa bisa kalah ? juga untuk kedepannya tidak terjadi lagi !
Objek mengamati ini yang membuat manusia harus mengenali lingkungan sekitarnya. Hal yang menyusun lingkungan tersebut dan kemudian terjadi malapetaka dengan lingkungan tersebut, tak terbayangkan malapetaka yang sungguh terjadi dengan dampak kegiatan manusia yang bisa dibatasi.
Akan tetapi juga untuk itu adalah mengenali semacam kemampuan dari diri manusia sendiri. Dengan ini apa yang melandasi kemampuan manusia untuk menghadapi kungkungan akan pandemi dengan dampaknya dalam segala rupa, sangat menantang apa yang diyakini manusia, diyakini juga tanpa keyakinan (agama) perihal kemampuan manusia yang bisa secara alami menghadapi keterkunkungan juga dampak yang lain bagi yang hidup akan wabah yang terjadi, tidak ada yang ingin menjadikannya sebagai sebuah siklus, sekalipun dalam kurun waktu jeda yang panjang. Tidak ada !
***
Jika tersebut sebagai sebuah ketangguhan, karena kesannya yang umum—akankah yang dimaksud adalah hanya kesan dalam keyakinan agama. Bahwa pendidikan agama yang mengajarkan perilaku untuk berbuat baik, dengan terlindunginya agama-agama terutama yang resmi tersebut. Sesuatu yang tetap muncul adalah penilaian kognitif, dimana tetap saja terjadi penurunan kecerdasan dari generasi peserta didik karena terhambatnya dengan sangat-sangat akan proses belajar-mengajar, hal yang dikuatirkan oleh mentri pendidikan. Sebuah generasi yang menyusut untuk menjadi tidak cerdas yang kemudian, dengan kejadian-kejadian ini, tentunya adalah tantangannya menjadi perihal dari kecerdasan yang dimaksud.
Sekedar sebagai istilah “ketangguhan”ketika itu juga dituturkan oleh organ global untuk anak-anak Unicef yang menjadi tantangan untuk memunculkan hal tersebut, menghadirkannya dalam muatan pendidikan yang muncul dari tragedi global ini (UNICEF, Juli 2020).
Apakah dunia menjadi lebih baik dengan banyaknya orang terdidik ? Proses pendidikkan yang telah baku dan membuat orang harus melewatinya, dengan sebuah bekal dari pendidikan dasar yang digariskan sebagai indikasi kemajuan. Dengan sendirinya melihat anak-anak yang lepas, karena jua keterbatasan dalam mengungkung, membatasi, tidak terpenuhinya capaian kurukulum yang ditujukan untuk aspek kecerdasan tidak turun tersebut; adalah disamping ketidaksiapan sistem pendidikan dengan penekanan kelas, juga bisa diartikan sebagai proses pendidikan tersebut.
Menjadi sangat alamiah anak-anak dengan berkerumunnya. Ketika hal ini dengan sangat umum disaksikan, selalu tercetus ketakutan untuk anakanak tertular dengan lebih parah, akan jumlah korban. Disamping yang selalu identik adalah orang-orang tua sebagai korban yang terjankit parah.
Maka anak-anak yang melimpah tidak diruang kelas adaah juga sebuah proses pembeajaran menjadikannya kuran berdaya saing. Karenanya indikasi kemajuan tersebut dalam prosesnya menjadi terhenti dalam beberapa saat, teralihkan, karena juga dengan pandemi yang meluluhlantakan tersebut, harusah diapresiasi bukan semata terindikasi ketidaksiapan kita. Akan tetapi tetaplah lebih parah ketika dunia menjadi tidak terdidik. Bahwa realita juga yang mengajarkan kita. Terpikir akan kehilangan kedukaan juga ketangguhan. Seakan dituntut untuk tidak menghargai kenyataan yang ada. Kenyataan dari anak-anak yang melimpah bermunculan dibanyak tempat—dijalan, pinggir-pinggir rumah, tidak sebagaimana “resmi” didalam kelas. Adalah ketangguhan tersebut ?
Tindakan-tindakan konkrit dalam partisipasi misi Kristen menjadi sangat perlu. Terbayang juga ketika menyatu dalam realita akan bangsa Israel yang memelihara hukum Tuhan dalam mobilitasnya menuju tanah yang dijanjikan Tuhan Allah. Akan tetapi itu tidak disertai pembatasan, dengan hal yang paling umum untuk sekedar jarak. Mengucap syukur dalam pengenalan kepada Tuhan dalam realita yang dihadapi...
Referensi
Persekusi Tahanan Si Kace dan Kebebasan Keyakinan...
Kasus kebebasan berkeyakinan kembali menjadi sorotan, bahwa mengklaim dengan melindungi keyakinan beragama, maka agama yang dilindungi dengan tersedianya pasal yang menyasar setiap upaya atau tindakan yang dianggap menghina, merendahkan atau menistakan keyakinan resmi yang terfasilitasi perlindungannya tersebut dianggap sebagai tindakan kriminal.
Tak terkecuali juga dalam hal kepindahan, atau berpalingnya seseorang dari keyakinan sebelumnya. Bahwa agama menjadi fakor yang sensitif, bahkan teramat sensitif terlebih jika dikaitan dengan yang “mayoritas”. Maka setelah kece atau kace —yang tetap mempertahankan nama asli khas dari keyakinan semulanya yang dia olok-olok dalam kanal youtube-nya mendapat respon persekusi ketika justru didalam tahanan, tentu menjadi mengkhawatirkan akan pasal yang menjeratnya, akan tetapi juga penanganan hal dalam silang sengkarut berkeyakinan ini dimana gagal dalam melindungi ‘pelaku kejahatan’ yang minoritas tersebut.
Kehadiran pemerintah yang bisa ‘mengayomi’ akan para pelaku kejahatan termasuk ‘pelaku kejahatan’ akan kriminalitas berkeyakinan ini, tentunya menimbulkan kesadaran akan efek jera bukan justru ketakutan yang bermuara bukan pada pengertian yang bisa dibangun akan agama sebagai objek yang sensitif.
Pertambahan jumlah berkeyakinan yang bukan faktor keturunan akan tetapi semacam konversi (perpindahan) karena mencoba membandingkan, merasa sudah dewasa dan berhak memilih memang harus disertai dengan tanggung jawab untuk tidak mengusik hal yang sensitif perihal berkeyakinan jika tertuju akan objek keyakinan lamanya. Akan tetapi bukankah meninggalkan keyakinan lamanya karena meyakini ada dan sadar baha ada yang lebih baik untuk jadi pegangan.
Sangat disayangkan dengan kasus yang menimpa si Kace, hal yang ideal untuk setiap pelaku kriminal agama tetap terlindungi ketika menjalani masa hukuman, sebuah perlindungan ketika pasal karet penistaan agama tidak bisa dihapus.
Apa yang Harus Dilakukan Ketika Ada Yang Menistakan Keyakinan Injil Kita ?
Tentu menjadi menarik dan tidak bisa disembunyikan akan persinggungan ini. Yang pasti respon bahwa Kasih kristus sang almasih sanggup mengampuni, bahkan ketika fakta Dia disalibkan akan membuat kita juga dengan “kegeraman” yang memohon hikmat Tuhan.
Hal pertama: ketika itu berlangsung dalam percakapan yang ringan sebagai olok-olok dalam pertemanan, tentu akan menjadi soal apa yang menyebabkan. Respon mengabaikan pun bisa diberikan dengan mengingatkan bahwa olok-olok tersebut bisa jadi ‘terlalu tinggi’, atau hal yang tidak sesuai. Tentu kita bisa menganggap rendah akan pribadi dari orang yang menyampaikan olok-olok terebut. Sebagai pengingat Yesus pun pernah diolok-olok, bahkan Injil Matius memberi tempat khusus dalam Mat 27:27-31.
Hal kedua, jikalau itu dianggap serius yang tentu bukan semata keisengan olok-olok, maka menjadi pernyataan iman yang bersangkutan. Hal ini tentu harus dicoba dengan memastikan kembali apa yang dimaksud dengan olok-olok serius yang menjerumus kepada penistaan tersebut. Dan perlu diingat, sebagai orang percaya, sekalipun tersedia pasalnya adalah bergantung pada hikmat yang dari atas untuk kita tidak menggunakan pasal penistaan agama dan sedapat munggkin tidak. Karena dalam kebajikan dan kasih yang dari atas, sebagaimana hikmat juga; hal yang ternoda atau ternista itu adalah; insan, pribadi, orang bukan bukan keyakinan. Sekalipun kita paham, sensitifitas agama ini sulit untuk membuat kita tidak geram atau membalas. Karenanya kita masuk kepada yang selanjutnya.
Lebih lanjut lihat tautan dibawah