Kembali Dirawat...
Saatnya memang untuk memastikan penanganan yang lebih. Muntah! Tidak waras dalam fungsi menelan dan kepala terus mendongak!
Tapi ini jeda yang hanya berselang dari satu setengah jam dari unit IGD (instalasi gawat darurat) di rumah sakit lain, yang jaraknya lebih dekat, yang dianggap lebih manusiawi, yang dianggap juga—walau tidak pernah berhasil; akan tetapi telah cukup akrab menangani. Maka ketidaksanggupan itu tersusun, juga tentunya terbantu dengan rekan. Kali ini berdua dan tidak sedang dalam pandemi. Ketika pernah seorang diri.
Memastikan persiapan yang cukup, karena memang harus rawat inap. Pemesanan aplikasi yang pasti selalu ada masalah dengan titik jemput. Maklum lingkungan sekitar tidak pernah memesan Grab mobil, nyaris tidak ada dalam mengingat tetangga yang mengonfirmasi tempat untuk aplikasi transportasi mobil, sehingga dipastikan titik jemput kurang dikenal, lazimnya dalam penggunaan aplikasi.
Maka, meluncur dan bonus muntah berplastik yang pertama disodorkan ke tempat sampah IGD Rumah sakit Umum Cibinong. Segera pengalihan untuk memastikan tidak diketahuinya lansia terkasih yang terpapar covid-19, dari swab test didiagnosa sebelumnya kepada supir pengantar, mengingat efek paniknya sekalipun pembatasan (PPKM) sudah tidak berlangsung.
Disinilah suasana ketakjuban itu berturut-turut, ketika selalu diingatkan bahwa ini adalah instalasi penanganan kedaruratan--IGD, terlebih kesan dari Rumah Sakit pemerintah.
Memasukinya adalah melewati deretan tempat tidur bergerak atau bisa digerakan dan akan banyak perpindahan. Juga dibeberapa momen adalah himpitan dan berkerumun dengan banyak orang. Sebuah awal kegawatdarutan yang harus mendapatkan respon isolasi. Maka setelah properti penunggu, tiker dan penyangga sejenis, karena memastikan akan rawat inap—tidak terbayang untuk isolasi mandiri. Pastilah administrasi pendaftaran dan blussss menyatu dalam segnap apa yang bisa dihadirkan di instalasi ini yang masing-masing punya keunikan, juga kengerian karena ada beberapa korban tabrakan hingga memastikan operasi bedah untuk penanganan darurat awal; juga ketabahan dan pastilah gerutuan-gerutuan untuk memaki. Cukup paham dari cerita mereka yang dikondisikan untuk terpaksa melakukan.
Hingga dipukul 02 dini hari dari 18.30, adalah kali kedua mengeluarkan lansia terkasih dari kamar isolasi yang berpendingin lebih untuk memastikan yang mengisinya masih hidup, sungguh keunikan dan horor itu disini, ketika merespon akan suhunya dan mereka yang terlentang dipastikan telah tinggal nama untuk menunggu pengurusan keluarga.
***
Mengeluarkan untuk berbaur tentu tidak disarankan bagi pengidap tersusupnya virus yang telah membuat dunia stuck dengan pandemi selama hampir 2 tahun berselang ini. Adalah deretan tempat tdur menjalar disepanjang selasar bersisian kamar CT scan dan ruang operasi sebelum kumpulan yang baru datang, berturut di depan dan diperbolehkan untuk menyusup berjajar adalah pasien kelenjar getah bening dengan kresek hitam menampung dahak darahnya, bocah SMP yang terhenti sekolahnya dan tampak terbiasa dengan kondisi terjaga yang kali ini bukan dirumah dengan bergantian ayah, ibu dan beberapa kerabat.
Juga kelenjar getah bening yang lain dari seorang perempuan muda yang tak terbayang ketika bergerak menuju ke kamar kecil dimana harus tertahan pergantian malam. Menyeberang dalam posisi yang bersisian pengidap depresi, seorang laki-laki dewasa muda yang tampak malnutrisi, dan seperti tidak punya daya ketika harus mengamuk. Sebelum pada bagian lain juga, anak kecil yang akhirnya bisa tenang karena didapati keberhasilan terpasangnya infus, keluarga mapan yang agak tidak umum jika terpaksa masuk ke RSU dan tampaknya bahu-mambahu memproteksi balitanya ketika sekalipun dekat dengan area kontrol dokter jaga, yang ternyata adalah alur lalu lintas korban kecelakaan, yang pada saat itu malam hingga sabtu dinihari, korban kecelakaan berdatangan dengan rupa-rupa tampilan dan ceceran darah juga korban kejahatan—kemudian diketahui ada korban dengan jari yang terputus[1].
Membayangkannya pastilah tidak bisa kebas--menganggapnya biasa atau menjadi lazim dengan kondisi ini. Sebuah kondisi jaga yang tidak memungkinkan untuk segera mendapatkan kamar. Jika untuk itu mendahulukan penanganan, setidaknya menyaksikan bocah laki memegang kresek berisi dahak darahnya ketika batuk, maka mendidiknya untuk tahu bahwa sakit itu kondisi ketidaklaziman sangat yang membutuhkan proses untuk tidak memudahkan akses. Siapa juga yang mau sakit dan tertahan berkerumun dalam rupa-rupa kegawatdaruratan ? Maka terjaga semalaman diperlukan !? Terlalu nyaman dan tentunya mengganggu juga kalau tengah malam dapat kamar perawatan ? Tak terbayang pilihan kegawatdaruratan untuk mengusahakan tidak malam hari jika terpaksa harus berurusan.
Akhirnya mendapatkan akses dipukul 07.15 pagi, setelah beberapa proses pemeriksaan juga pastinya merespon, lagi-lagi dengan gerutuan...
“ Oh saya kirain mati, nggak apa saya sih nothing to lose dah capek ngerawat lansia. Ya cukup tahu aja penanganannya ”
Kesal terhadap perawat yang merasa tidak punya otoritas lebih dan bersiap memasuki pergantian jaga, juga penanganan dokter yang tidak direspon. Pastinya juga harus dimaklumi, waktu istirahat yang tidak bisa diganggu. Siapa yang masih mau terhubung dengan pekerjaan di tengah malam ?
Sebuah kesan dari kelegaan, juga tahapan menuju penanganan yang waras. Tak terbayang lansia yang terus berusaha mencopoti infusan yang terpasang, bahwa itu juga berlanjut diruang isolasi...
JPS
24012023